Sejarah Tarihoran

KONSEP SEJARAH
RAJA TARIHORAN
Dikumpulkan dan Disusun Oleh:
Drs. Nicolaus Tarihoran 
Pdt. Tumpal Tarihoran, S.Th
(Alm) Pdt. Drs. Pangasoan Tarihoran, MDiv

         Raja Tarihoran adalah anak dari Ompu Datu Dalu yang lahir dari Ompu Boru Sitompul. Tidak dapat dipastikan tempat di mana lahir Raja Tarihoran,  tetapi diduga kuat bahwa dia lahir dan dibesarkan di perkampungan Ompu Datu Dalu daerah Porsea di sekitar Lumban Gurning. Dugaan ini didasarkan pada sejarah bahwa setelah Ompu Datu Dalu menikah dengan Ompu Boru Sitompul di daerah Silindung, mereka pindah ke daerah Porsea, mungkin di sekitar Lumban Gurning yang sekarang. Ini diperkuat oleh fakta bahwa tempat makam Ompu Datu Dalu dan Datu Pulungan Tua berada di Lumban Gurning Porsea.

Makam Ompu Datu Dalu di Lumban Gurning Porsea.
Makam Ompu Datu Pulungan Tua di Lumban Gurning Porsea.

Pada umumya orang tua bangsa Batak tidak sembarang memberi nama bagi anaknya, tetapi nama yang diberi sering didasarkan pada kata yang memiliki makna filosofis atau yang berkaitan dengan peristiwa penting. Asal kata dan arti nama “Tarihoran” tidak dapat diketahui dengan pasti dan apa makna filosofis-nya. Akan tetapi lebih cenderung berkaitan dengan peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan hidup Raja Tarihoran. Apakah nama itu berkaitan dengan binatang patihoran yang senantiasa bercahaya, menerangi kegelapan di malam hari? 

Menurut cerita yang banyak beredar di kalangan warga Tarihoran (yang tidak dapat dipastikan kebenarannya) bahwa asal mula nama Tarihoran ber-kaitan denganpatihoran, sejenis lipan berukuran kecil, gigitannya tidak berbisa, dan bercahaya di waktu malam apalagi jika disentuh. Konon ceritanya, binatang ini suka masuk ke telinga manusia, menggigiti bagian dinding telinga dan mau juga bertelur dan menetas di sana.

Pada masa remaja, di suatu malam, Si Raja Tarihoran sedang lelap tidur. Tanpa dia rasakan, seekor binatang patihoranmerayap mendekati telinganya dan masuk ke dalamnya. Setelah berada di dalam,patihoran tersebut menggigiti bagian dalam telinga Si Raja Tarihoran dan tiba-tiba ia terbangun karena merasa sakit. Karena rasa sakit yang ia rasakan, dilakukanlah segala cara dan usaha oleh orang tuanya untuk mengeluarkan patihoran tersebut dari dalam telinga-nya. Namun segala cara dan upaya yang dilakukan selalu gagal, akibatnya pati-horan tersebut sudah mulai bertelur dan menetas di dalam telinganya. Lama-kelamaan, Si Raja Tarihoran semakin merasa kesakitan. Dalam kurun waktu yang relatif cukup lama, ia selalu mengerang kesakitan, seakan-akan dia sudah merasa putus asa, jangan-jangan patihoran yang terus menggerogoti telinganya akan membawa dia ke akhir hidupnya. Berita penyakit yang diderita Si Raja Tarihoran tersebut telah tersiar kepada tetangga dan daerah sekitarnya, dan telah menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Maklumlah pada masa itu belum ada dokter ahli THT seperti masa sekarang.

Suatu hari, Si Raja Tarihoran tinggal sendirian di rumah dimana orang tua dan saudara-saudaranya mungkin pergi ke ladang atau berburu. Pada saat pintu rumah mereka terbuka, masuklah seekor ayam tetangga ke dalam rumahnya. Melihat ayam tersebut masuk, tiba-tiba timbullah rasa emosi di dalam hatinya didorong oleh rasa sakit yang mencekam dirinya. Tanpa disadari ia mengambil sepotong kayu dan melempar ayam tersebut. Rupaya potongan kayu tersebut tepat mengenai sasaran, sehingga ayam itu pun langsung menggelepar dan mati. Melihat kejadian itu, Si Raja Tarihoran merasa sakitnya sedikit mereda. Ia berpikir sejenak, kalau dibuang ia takut ketahuan sama yang punya, kalau disembunyikan di dalam rumah dia sangsi akan membusuk dan menimbukan bau bangkai. Akhirnya, ia merebus ayam mati tersebut agar mudah dikuliti dan dijadikan santapan lezat. Tanpa disangka, tiba-tiba seorang tetangga (mungkin si pemilik ayam) mengetok pintu rumahnya hendak minta atau mencari sesuatu. Si Raja Tarihoran meresa terkejut dan takut. Dengan tergesa-gesa, ia mengam-bil ayam yang baru direbus dan masih berbuluh itu dan menyembunyikannya di bawah bantalnya, lalu ia tidur dengan meletakkan kepalanya di atas bantal itu. Beberapa saat kemudian, bau ayam rebusan tersebut mulai menyebar di sekitar bantal dekat telinganya. 

Tanpa diduga oleh Si Raja Tarihoran, rupanya bau ayam tersebut tercium olehpatihoran-patihoran yang ada di dalam telinganya. Akibatnya, patihoran-patihorantersebut mulai berkeluaran satu per satu sampai habis dari dalam telinganya untuk mencari sumber bau ayam tersebut. Sembari merasakan bahwa patihoran-patihoran itu sedang menjulur keluar dari dalam kupingnya, Si Raja Tarihoran pun terkejut bercampur gembira, seakan-akan ia merasakan jiwanya perlahan-lahan datang kembali ke dalam tubuhnya. Setelah semuapatihoran itu keluar dari dalam telinganya, ia langsung bangkit dari pembaringannya, sambil bersorak dan melonjak kegirangan. “Horeee, aku sudah sembuh, semua pati-horan itu sudah keluar dari kupingku” katanya dengan gembira penuh sukacita. Akhirnya ketahuanlah peristiwa mengejutkan itu kepada orang tuanya, saudara-saudaranya, dan tetangga sekitarnya. Sejak peristiwa itu, dia dijuluki Si Raja Patihoran yang selanjutnya disebut Si Raja Tarihoran.
 
A.  Kisah Raja Tarihoran dan Anak-Anaknya 
Pada zaman dahulu ilmu kebijaksanaanyang dimiliki seorang ayah selalu diupayakan agar dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Sebagaimana telah diceritakan dalam Bab II, bahwa Ompu Datu Dalu memiliki ilmu kebijaksanaan yang cukup handal. Ia selalu berupaya menurunkan ilmu kebijaksanaan yang dimilikinya kepada anak-anaknya termasuk Si Raja Tarihoran.  Sejak remaja hingga menjelang dewasa, Si Raja Tarihoran selalu diajari dengan ilmu kebijaksanaan oleh Ompu Datu Dalu dan dinasehati agar berperilaku baik sebagai raja yang berdedikasi, disegani dan dihormati oleh semua orang.

Pekerjaan sehari-hari Ompu Si Raja Tarihoran adalah berladang dan berburu. Suatu ketika ia pergi berburu ke hutan dengan membawa panah dan ultop. Sewaktu dia menelusuri hutan di sekitar Lumban Gurning, ia melihat seekor burung yang sangat cantik (kira-kira sebesar itik dewasa), berbulu putih bersih dan memiliki buluh menyerupai kalung keemasan di bagian lehernya. Rupanya burung itu adalah burung patiaraja (raja dari segala burung). Ia sangat terpesona dan tertarik melihat kemolekan burung tersebut, sehingga ia tidak tega untuk membunuh burung itu dengan ultop-nya. Ia bermaksud menangkap burung patiaraja tersebut dan memeliharanya.

Ketika ia berupaya mendekati dan menangkapnya, burung patiaraja itu pun terbang rendah dan hinggap kembali kira-kira sejauh lima meter.  Si Raja Tari-horan pun terus berlari pelan-pelan dan berusaha menangkap burung itu, namun selalu gagal. Demikian ia terus-menerus mengejar burung itu sampai jauh ke tengah hutan sehingga ia merasa letih dan ingin berhenti. Tanpa diduga, burung patiaraja tersebut tiba-tiba menghilang dari pandangannya dan tidak tahu ke mana perginya. Ia begitu kesal dan malang, seakan-akan ia baru saja kehilangan seorang bidadari cantik di tengah hutan. Dengan penuh kekesalan, ia pun pulang kembali ke rumahnya karena hari sudah mulai sore. Sepanjang hari, ia selalu dibayang-banyangi  oleh kecantikan burung patiaraja tersebut.

Beberapa hari kemudian, ia pergi lagi berburu ke arah hutan tempat di mana ia menemukan burung itu dengan harapan mudah-mudahan ia akan menemu-kannya kembali di sana. Ternyata, ia melihat kembali burung itu hinggap dan bertengger di dahan pohon yang rindang. Si Raja Tarihoran pun merasa senang, seakan dia menemukan kembali bidadarinya yang hilang. Ia terus mempelototi burung itu sambil berusaha mendekat untuk menangkapnya, namun selalu gagal. Dengan tingkah laku  seperti jinak-jinak merpati, burung itu pun terbang melompat-lompat di antara dahan-dahan pepohonan. Dengan rasa penasaran, Si Raja Tarihoran dengan sabar terus mengikuti arah terbang burung itu menuju ke suatu arah tertentu di tengah hutan. Sekalipun ia sudah sangat letih, ia tidak mau meniup ultop-nya menembak burung itu. Ia selalu berharap dapat menangkap dan memeliharanya. Namun, setelah berjalan jauh di tengah hutan, tiba-tiba burung itu menghilang. Karena hari sudah mulai sore, ia pun kembali lagi ke rumahnya dengan penuh kekesalan. Sepanjang malam, Si Raja Tarihoran selalu penasaran dan terus dibayang-bayangi oleh burung itu, sambil bertanya dalam hatinya, “Apa sesungguhnya yang hendak disampaikan atau pertanda apa yang hendak ditunjukkan oleh burung itu?”

Karena terus merasa penasaran, keesokan harinya Si Raja Tarihoran pergi lagi lebih awal berburu ke arah hutan yang sama. Ternyata ia pun melihat kembali burung itu sedang bertengger gagah, seakan menanti seseorang. Dengan rasa senang dan penasaran, ia mendekati burung itu dan begitu sudah sangat dekat dan hendak mau ditangkap, burung itu langsung terbang dekat-dekat. Sambil melihat sekali-sekali, ia terus mengikuti arah terbang burung itu. Tanpa disadari rupanya Si Raja Tarihoran sudah tiba di suatu parhutaan(perkampungan) di Lumban Masopang Porsea. Begitu ia mendekati suatu tempat pemandian di dekat kampung itu, burung itu pun langsung hilang, dan ia melihat seorang gadis sedang mandi (maranggir) sambil membilas-bilas ram-butnya. Melihat kenyataan itu, Si Raja Tarihoran merasa kaget bercampur senang. “Apa aku ini sedang bermimpi?” katanya dalam hati. Kemudian, ia mengusap wajahnya dan tetap juga melihat gadis itu sedang mengusap-usap sekujur tubuhnya. “Ooh, rupanya yang kulihat ini adalah benar-benar terjadi” gumamnya dalam hati penuh gembira. Dengan jantung berdebar-debar dan dengan ekspresi malu-malu dan gugup ia mendekati gadis itu. “Horas di hamu boru ni raja!” kata Si Raja Tarihoran membuka pembicaraan. “Horas ma tutu di hamu ito, anak ni raja! Ai ise do hamu tahe ito, na sian dia do hamu jala aha naeng siluluan muna?”tanya gadis itu dengan lembut. Si Raja Tarihoran sangat senang mendengar suara lembut itu dan dia merasa seperti gayung bersambut. “Ahu do i boru ni raja nami, anak ni damang Datu Dalu, ima Si Raja Tariho-ran. Adong hubereng di tombak an sada pidong na tung mansai uli. Ala ni ulina ndang tubu di rohangku naeng mangultop, sotung gabe mate. Marsangkap do ahu naeng manangkupsa asa hupiaro. Alai di si naeng hutangkup pintor habang ibana jonok-jonok, sai torus huhunton gabe sahat tu inganan on, alai dung sahat di son gabe mago pidomg i ndang huida be manang tudia laho” kata Si Raja Tarihoran menjelaskan. “Uee da ito, anak ni raja nami, unang pola sai lulu-lulu roha muna di si. Ai ahu do na marsuru pidong i laho manomu-nomu hamu tu inganan on asa boi hita pajumpang”, kata gadis itu dengan gaya memikat. Mendengar perkataan itu, hati Si Raja Tarihoran pun sangat senang dan jantungnya pun semakin berdebar-debar. “Ia hamu tahe ito, ise do hamu jala boru sian dia do hamu?” kata Si Raja Tarihoran bertanya lagi. “Ia ahu ito, ahu ma boru ni raja i marga Sitompul sian Lumban Masopang on na margoar si Manitang Nauli” jawab gadis itu dengan jujur. “Mauliatema boru ni raja di burju ni roha muna i, dipabotohon hamu do goar muna na uli i sangon uli ni rupa muna,” kata Si Raja Tarihoran mulai merayu. “Aut sura undok roha ni baru ni raja i, olo gabe parsonduk bolonhu, tung las situtu do rohangku nang roha ni damang dohot dainang,” kata Si Raja Tarihoran melanjutkan rayuannya. “Mauliate ma anak ni raja nami, sai saut ma tutu songon na nidokmialai adorong so i jumolo ma hita pabotohon tu damang dohot dainang asa unang lulu-lulu roha nasida di ahu” jawab gadis itu, sambil mengulurkan tangannya mengajak Si Raja Tarihoran untuk meminta restu kepada orang tuanya, dan Si Raja Tarihoran pun menyambutnya dengan senang hati.

Setelah mereka sepakat untuk menikah (marpudun saut) dan minta restu dari kedua orang tua gadis itu, mereka pun pergi meninggalkan Lumban Masopang kembali ke Lumban Gurning untuk memberitahukan rencana pernikahan mereka kepada Ompu Datu Dalu. Setelah resmi menjadi suami-istri, mereka hidup bersama dan membuka perladangan untuk memenuhi nafkah mereka sehari hari (mungkin di sekitar Lumban Gurning sekarang).

Tidak lama setelah pernikahan mereka, tumbuhlah kehidupan baru dalam rahim Ompu Boru Sitompul dan setelah tiba bulan dan harinya lahirlah anak pertama (anak laki-laki) bagi keluarga Si Raja Tarihoran, lalu diberi nama Raja Panapang. Ada cerita mengatakan bahwa ketika Raja Panapang hendak mau lahir, Ompu boru Sitompul sedang memperbaiki penapang (pematang) sawah mereka, sehingga anak yang lahir itu diberi nama Raja Panapang. Tidak lama setelah kelahiran anak pertama, mengandung lagi Ompu Boru Sitompul dan setelah tiba bulan dan harinya, lahir lagi anak kedua (anak laki-laki) dan diberi nama Raja Pangalele. Ada cerita mengatakan bahwa selama Raja Pangalele berada dalam kandungan, perladangan Si Raja Tarihoran selalu berpindah-pindah kerena selalu diganggu dikejar (dilele) orang-orang yang lebih berkuasa pada saat itu untuk memperebutkan daerah perladangan sehingga anak yang lahir itu dinamai Raja Pangalele dengan maksud, daripada selalu dikejar (dilele) orang lain, lebih baik jadi orang pengejar (pangalele) orang lain. Kadang-kadang ini penting dalam mempertahankan hidup.

Tidak lama setelah kelahiran anak kedua, Ompu Boru Sitompul mengandung lagi dan setelah tiba bulan dan harinya, lahir lagi anak ketiga (juga anak laki-laki) bagi keluarga Si Raja Tarihoran, lalu diberi nama Raja Naduma. Ada juga cerita mengatakan bahwa pada masa kelahiran Raja Naduma, hasil perladangan dan ternak mereka cukup berhasil (maduma) sehingga anak yang lahir itu dinamai Raja Naduma. Selain ketiga anak itu, Ompu Boru Sitompul juga melahirkan tiga orang putri bagi Si Raja Tarihoran (tentang urutan kelahirannya tidak diketahui dengan pasti). Nama ketiga putri itu adalah: 

1. Sigaol Siboru Pareme (Borotan Gaja), menikah dengan marga Butarbutar
2. Siboru Tiar Namora, menikah dengan marga Marpaung
3. Siboru Bintang Haomasan, menikah dengan marga Napitupulu.

Luar biasa keluarga Ompunta Si Raja Tarihoran, memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri sehingga menjadi keluarga yang kokoh, berdiri teguh seperti di atas Dalihan Na Tolu. Si Raja Tarihoran selalu berusaha membina ketiga orang putra dan putrinya tersebut. Mereka dibekali dengan ilmu kebijak-sanaan dan pengetahuan tentang tatanan hidup (adat) orang Batak.

B.  Kisah Raja Panapang dan Keturunannya

Pada saat Raja Panapang sudah dewasa dan siap untuk menikah, ia pergi martandang ke daerah Sirait Uruk sekarang. Mungkin tempat itu sudah menjadi perkampungan marga Sirait. Di sana dia bertemu dengan seorang anak gadis bermarga boru Sirait (katanya putri Raja Sirait Uruk). Setelah mereka saling mengenal, lama kelamaan hati mereka pun saling jatuh cinta satu sama lain. Ketika ayah gadis itu mengetahui hubungan cinta mereka, ia pun sangat marah, sepertinya ia tidak menyetujui hubungan cinta antara putrinya dengan Raja Panapang. 

Pada masa itu sedang terjadi sengketa antara penduduk kampung Sirait Uruk dengan penduduk kampung lain di sekitarnya. Suatu ketika, terdengar berita bahwa segerombolan orang sedang datang untuk menyerang penduduk Sirait Uruk. Mendengar berita itu, orang tua si gadis memanggil Raja Panapang untuk menemuinya. Ketika Raja Panapang sudah datang ayah si gadis menawarkan sesuatu kepadanya. “Kampung ini hendak diserang oleh sekelompok gerom-bolan bersenjata, jika kamu bersedia membantu kami dan dapat mengalahkan para gerombolan tersebut, maka saya akan memberikan putriku ini menjadi istrimu” kata ayah gadis itu kepada Raja Panapang.  “Terima kasih Pak, saya bersedia dan berusaha untuk mengalahkan mereka” jawab Raja Panapang dengan yakin. 

Kemudian Raja Panapang menyuruh penduduk Sirait Uruk mengumpulkan sekam (lapung padi) sebanyak-banyaknya. Ketika para gerombolan itu sudah mulai menyerang, dengan mengandalkan ilmukebijaksanaan yang dimilikinya, Raja Panapang segera mendoakan sekam itu. Seketika itu juga semua sekam itu langsung beterbangan seperti lebah yang siap menyengat, menyerang dan menge-rumuni para gerombolan itu, sehingga mereka semua langsung lari terbirit-birit meninggalkan kampung Sirait Uruk, karena mereka merasa seperti diserang dan disengat lebah. Melihat kejadian itu, ayah gadis itu langsung takjub atas kehebatan kemampuan ilmu Raja Panapang, lalu ia memberi dan merestui putrinya menjadi istri Raja Panapang.

Sejak saat itu, Raja Panapang secara resmi mempersunting Boru Sirait itu menjadi istrinya. Atas jasa Raja Panapang, Raja Sirait Uruk menyarankan agar mereka tetap tinggal di Sirait Uruk. Raja Panapang menjadi menantu (hela) atau boru kesayangan di kampung Sirait Uruk. Kepada mereka diberikan sebidang tanah panjaeanuntuk mereka kelola menjadi sumber hidup mereka sehari-hari. Setelah mereka hidup bersama selama beberapa tahun di Sirait Uruk, keluarga Raja Panapang dikaruniai Tuhan tiga orang putra, masing-masing diberi nama Raja Silobang, Raja Ginagan,dan Raja Sihobal. Ada cerita mengatakan bahwa Raja Panapang juga memiliki dua orang putri, yaitu: Siboru Meaheak (katanya menikah dengan marga Bakkara di Bakkara)dan Siboru Olopolop (putri malang penuh derita dan duka lara, ia tidak sempat menikah karena semasa masih gadis, ia diterbangkan oleh angin puting beliung ke hutan arah timur Porsea).

Berkat keuletan, kegigihan, dan kesabaran Raja Panapang dalam usaha berladang dan beternak, maka kehidupan keluarganya semakin sejahtera di Sirait Uruk. Ia semakin memperluas tanah perladangannya bahkan ia sering juga membeli tanah perladangan dari orang lain. Dengan demikian Raja Panapang memiliki tanah yang semakin luas di Sirait Uruk. Tanah yang luas itu (ditambah lagi tanah yang digarap atau yang dibeli anak cucunya) diwa-riskan secara turun-temurun kepada keturunannya. Ini dapat kita lihat sam-pai sekarang bahwa marga Tarihoran menjadi pemilik tanah yang luas di Sirait Uruk.

Dari kenyataan itu, diduga kuat bahwa Raja Panapang selanjutnya juga mengajak orang tuanya Si Raja Tarihoran bertempat tinggal (marhuta) di Sirait Uruk. Dugaan ini diperkuat dengan adanya Lumban Hatihoran (mung-kin sebagai pahutaan Si Raja Tarihoran dahulu). Demikian juga tentang keberadaan parombanan dan mata air (mual) Tarihoran sebagai tempatpartonggoan dan sumber air bagi keluarga besar Si Raja Tarihoran di Sirait Uruk Porsea. Peninggalan parombanan dan mata mualtersebut masih ada sampai sekarang, letaknya di tengah persawahan sebelah kanan jalan raya arah Porsea – Medan di Sirait Uruk. Pada umumnya, keturunan Raja Pana-pang berdomisili di Sirait Uruk tetapi banyak juga yang sudah tinggal di tanah perantauan.

Lumban Tarihoran (Hatihoran) di Sirait Uruk Porsea.

C.  Kisah Raja Pangalele dan Keturunannya

  Raja Pangalele adalah nama anak kedua dari Raja Tarihoran. Mungkin nama ini menggambarkan pribadi atau karakter Raja Pangalele, seperti sifat: keras, perkasa, pemberani, dan perantau atau suka berkelana. Dengan mengandalkan karakter seperti itu ditambah lagi ilmu kebijaksanaanyang dimilikinya, maka setelah Raja Pangalele dewasa, dia meninggalkan Porsea, pergi berkelana dari kampung yang satu ke kampung yang lain dan akhirnya dia tiba di daerah Silindung.

Setelah beberapa lama tinggal di Silindung, Raja Pangalele bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis bermarga boru Sitompul. Mungkin karena paras wajah si gadis lumayan cantik nan menawan dan postur tubuhnya seperti gitar Sipoholon ditambah lagi ibu dan neneknya juga boru Sitompul, maka Raja Pangalele tertarik dan jatuh cinta pada gadis itu. Dengan mengandalkan keper-kasaan dan keberaniaanya, pada suatu kesempatan yang tepat, Raja Pangalele menyampaikan isi hatinya kepada gadis itu. Namun, untuk mengetahui keseriusan dan ketulusan hati Raja gadis itu pura-pura menolak (pada hal sejak pertemuan pertama pun gadis itu sudah tertarik dan jatuh cinta kepada Raja Pangalele). Merasa cintanya ditolak, Raja Pangalele tidak langsung menyerah begitu saja, dia malah semakin gencar mendekati dan merayu gadis  itu. Melihat keseriusan Raja Pangelele, akhirnya pada suatu saat, gadis itu  pun menyerah dan menerima isi hati Raja Pangalele. Tidak lama sejak itu, mereka pun berencana menikah (marpundun saut).

Setelah mereka resmi hidup sebagai suami istri, mereka tetap tinggal di Silindung. Diduga kuat mereka tinggal di sebuahparhutaan yang letaknya di daerah perbukitan di bagian atas kampung Simorangkir atau di bagian bawah tempat Salib Kasih sekarang. Dugaan ini didukung oleh bukti nyata yang dapat kita lihat sampai sekarang. Di daerah perbukitan itu terdapat sebuah mata air jernih (mual) yang dikenal umum sampai sekarang sebagaimual Tarihoran. Di sekitarnya terdapat seperti bekas makam-makan tua yang tidak terpelihara yang mungkin saja di situ tempat makam Raja Pangalele, istri, atau anak-anaknya. Selain itu, perladangan marga Tarihoran yang tinggal di Simorangkir sekarang berada di bagian atas (dolok) kampung Simorangkir. 

Mata Mual Tarihoran di daerah perbukitan dolok Desa Simorangkir
Beberapa anggota Tim dan Tim Pendamping berfoto di bendungan mual Tarihoran. Dari depan ke belakang: Robin Tarihoran, S.Sos – Drs. Albert M. Farihoran – Pdt. Pangasoan Tarihoran – Pdt. Tumpal Tarihoran – Drs. MS. Tarihoran

Sekarang mata air Tarihoran itu dibendung oleh pemerintah setempat dan melalui pipa disalurkan untuk mensuplai kebutuhan air di kampung Simorang-kir. Pada saat Tim berkunjung ke lokasi, mereka menyempatkan diri menem-pakan pamplet bertuliskan Mual Raja Tarihoran dan memasangnya di lokasi tersebut. Konon ada cerita mengatakan bahwa ada seekor ular hitam sebagai penunggu tempat itu berdiam di sebuah gua di lokasi itu. Dan jika marga Tarihoran datang berkunjung ke lokasi itu dan meminta dengan tulus agar ular itu keluar dan menampakkan diri, maka ular itu akan keluar. Cerita itu ternyata terbukti, ketika Tim berkunjung ke sana dan meminta agar ular itu keluar, maka beberapa saat kemudian ular itu pun keluar menampakkan dirinya.

Tidak lama setelah Ompu Raja Pangalele berkeluarga, tumbuhlah kehidupan baru dalam rahim Ompu Boru Sitompul. Setelah tiba bulan dan harinya lahirlah seorang anak laki laki yang di kemudian hari digelari Ompu Manggiling (Ompu Targasing). Setelah beberapa bulan berikutnya mengandung lagi Ompu Boru Sitompul dan setelah tiba bulan dan harinya lahirlah anak kedua bagi Ompu Raja Pangalele, anak laki-laki yang kemudian diberi nama Datu Paksa (Tukko). Ada juga cerita mengatakan bahwa Raja Pangalele memiliki dua orang putri, yang pertama Si Boru Sormin menjadi istri Ompu Juara Tua Situmeang dan yang kedua Siboru Titia Bulan menjadi legenda di pulau Mursala.

Sebagai orang tua, Raja Pangalele selalu berusaha membesarkan anak-anaknya dengan baik, mengajari mereka tentang tatanan hidup orang Batak ter-masuk ilmukebijaksanaan. Namun, karakter dan prilaku kedua anaknya ini sejak kecil hingga dewasa sangat berbeda. Menurut cerita yang beredar luas di kalangan warga Tarihoran khususnya di daerah Silindung dan Tarutung, bahwa kedua anak ini memiliki masalah perebutan cinta yang menimbulkan aib dan melanggar norma-norma hidup orang Batak. Di bawah ini penulis akan mengu-raikan kisah perebutan cinta itu dengan maksud agar semua keturunan Raja Tarihoran khususnya keturunan Raja Pangalele mengetahuinya dan dapat mengambil hikmahnya.

Dalam suatu keluarga, proses pertumbuham fisik dan physikis seorang anak pasti berbeda dengan anak yang lainnya. Demikian juga dengan kedua anak Ompu Raja Pangalele, anak pertamanya (Ompu Manggiling) memiliki sifat pendiam, tertutup, kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam melakukan aktivitas keseharian alias pemalas. Ia lebih suka tinggal di rumah, duduk di dapur dekattataringan. Ia lebih senang memasak nasi di dapur, bila nasinya sudah mendidih, bara apinya digeser agak ke samping tungku (dalihan), lalu periuk berisi nasi tadi dipindahkan ke bara api itu, sedangkan tungku tadi digunakan lagi untuk memasak sayur.  Selama proses itu berlangsung tentu saja ia menghangatkan tubuhnya juga, seperti kata pepatah: sambil mendiang nasi masak. Proses itulah yang disebutmargasing. Dari kebiasaan tersebut, Ompu Manggiling digelari juga Ompu Targasing.  

Sedangkan anak kedua Datu Paksa secara fisik dan physikis bertumbuh dan berkembang normal seperti layaknya anak-anak lain pada umumnya. Ia rajin bekerja membantu orang tuanya di ladang dan gemar berburu. Sifatnya terbuka dan suka bergaul dengan orang lain. Kedua anak ini bertumbuh dalam asuhan keluarga Raja Pangalele hingga dewasa.

a. Kisah Perebutan Cinta Antara Ompu Manggiling dan Datu Paksa

Setelah si Targasing cukup dewasa dan sudah waktunya untuk menikah, ibunya Boru Sitompul menganjurkan kepadanya agar ia segera menikah. Ibunya menawarkan pariban-nya yang belum pernah dilihatnya. Mendengar anjuran dan tawaran itu, ia diam seribu bahasa, dan setelah didesak terus akhirnya dia menolak untuk menikah apalagi  sama pariban-nya itu. Karena Raja Pangalele sudah sangat merindukan seorang cucu, maka beberapa hari berikutnya, ia dianjurkan lagi untuk menikah, namun tetap saja ia menolak, bahkan dia balik menganjurkan, agarpariban-nya itu dikasih saja sama adeknya Datu Paksa. 

Karena dorongan ingin segera memiliki cucu, Ompu Boru Sitompul tidak habis akal, akhirnya ia berpegang pada prinsip: ndang dakkana rantingna, ndang hahana anggina. Kemudian Ompu Boru Sitompul memanggil anaknya Datu Paksa dan menganjurkan agar dia segera menikah. Lalu ia menawarkanpariban-nya yang juga sudah waktunya untuk menikah. Datu Paksa menyadari apa yang terpendam di dalam hati ibunya, ia kemudian menuruti anjuran dan tawaran ibunya. Akhirnya mereka menentukan hari yang tepat untuk meminang pariban-nya itu.

Setelah tiba waktu yang telah ditentukan dan disiapkan segala sesuatu yang perlu untuk rencana tersebut, pergilah mereka ke rumah tulang-nya. Setelah tiba di rumahtulang-nya, Datu paksa merasa terkejut bercampur kagum melihat penampilanpariban-nya itu. Ia tidak menyangka sebelumnya bahwa pariban yang dimaksudkan itu tidak  secantik dan seanggun yang dia saksikan sekarang. Dengan hati berdebar-debar dan sikap malu-malu ia menyalam pariban-nya itu. Selama ibunya menyampaikan apa maksud kedatangan mereka kepada tulang danpariban-nya, Datu Paksa selalu curi-curi pandang. Ia sesekali menatap wajah cantikpariban-nya, yang kadang-kadang sebagian bersembunyi di balik rambutnya yang panjang terurai itu ketika ia tertunduk malu. Ketika Datu Paksa duduk sambil menundukkan kepala, ia kesempatan memandangi bagian kaki pariban-nya, mulai dari jemari kakinya yang mungil hingga betisnya yang bulat bersih seperti bulir padi. 

Ketika pinangan mereka direstui tulang-nya dan diterima oleh pariban-nya, hati Datu Paksa pun sangat senang dan bahagia, seakan-akan ia merasa sedang dalam mimpi. Setelah selesai marpudun saut, mereka pun bergegas pulang bersama calon mempelai wanitanya. Di sepanjang perjalanan Datu Paksa selalu berjaga-jaga sembari memperhatikan gerak langkah mempelainya itu jangan-jangan kakinya tergelincir atau terantuk kepada batu. Ini merupakan ungkapan cinta yang tulus dan mendalam bagi seorang calon istri yang berjanji akan sehidup semati. Sesampainya di rumah Raja Pangalele, beberapa hari kemudian diresmikanlah hubungan mereka berdua sebagai suami istri. Mungkin selama beberapa tahun, mereka tetap tinggal bersama kedua orang tua dan saudaranya.

Sejak melihat kecantikan wajah dan gerak gemulai penampilan istri Datu Paksa yang mempesona itu, sudah timbul dalam hati si Targasing sejuta penye-salan. Keseharian hidupnya selalu dirundung  penyesalan mendalam. Setiap kali menatap kecantikan wajah dan kemolekan tubuh adek ipar (anggi boru)-nya itu, hatinya langsung panas dibakar api cemburu. Kalau dia mau berontak dan menuntut hak anak kesulungannya, ia terjebak dengan umpasayang berkata: tinappul bulung sihupi ni parsaong bulung sihala, unang sumolsol di pudi, ndada soso-soso na soada

Tidak lama setelah Datu Paksa hidup berkeluarga, tumbuhlah kehidupan baru dalam rahim istrinya. Setelah tiba bulan dan harinya lahirlah baginya seorang anak laki laki yang selanjutnya diberi nama Datu Manongging. Bebe-rapa bulan berikutnya sejak kelahiran anak pertama, mengandung lagi istri Datu Paksa dan setelah tiba bulan dan harinya lahirlah anak kedua baginya lalu diberi nama Datu Gumasang. 

Ada pepatah mengatakan bahwa cinta itu buta.   Nyawa, harta, uang, jabatan, kehormatan, dan tembok hukum bisa hancur sekejab jika seseorang dibakar api cemburu dan cinta membara atas dorongan nafsu. Mungkin cinta membara dan api cemburu itulah yang selalu membelenggu dan membara dalam hati si Targasing bertahun-tahun lamanya, bagaikan api dalam sekam. 

Didorong oleh keinginan untuk memadamkan api cemburu dan menyejuk-kan cinta membara yang selalu membelenggunya, maka pada suatu ketika si Targasing mengajak adeknya Datu Paksa untuk mencari dan mengambil madu lebah di hutan yang agak jauh dari kampung mereka. Dengan yakin Datu Paksa menuruti ajakan itu. Lalu mereka menyiapkan segala perbekalan dan peralatan yang diperlukan. Dengan terlebih dahulu pamit sama istrinya, berangkatlah Datu Paksa bersama abangnya menelusuri hutan belantara. Berhari-hari mereka menjelajah di dalam hutan, tetapi tak satu pun sarang lebah yang mereka temukan. Namun suatu ketika, mereka menemukan sebatang pohon besar yang tinggi dan rindang. Ketika mereka memandang ke bagian atasnya, ternyata mereka melihat beberapa sarang lebah bergantungan pada dahan-dahan pohon itu. Karena batang pohon itu cukup besar, mereka memasang tali dan menyang-kutkannya pada bagian bawah dahan pohon itu. Ketika hari sudah malam, si Targasing meminta adeknya Datu Paksa memanjat pohon itu melalui tali yang telah dipasang pada siang harinya. Datu Paksa menuruti permintaan itu, lalu ia memanjat melalui tali itu. Ketika ia sampai pada dahan bagian bawah (tingginya sampai puluhan meter), si Targasing menarik dan memutus tali itu sehingga Datu Paksa tertahan di atas pohon tersebut. Kemudian si Targasing bergegas meninggalkan tempat itu di kegelapan malam sambil membawa baju adeknya yang tertinggal di bawah pohon itu. Ia mengira bahwa adeknya itu pasti akan mati terjatuh dari dahan pohon itu.

Keesokan harinya, si Targasing menembak jatuh seekor monyet besar. Ia  mengambil darahnya dan melumurkannya pada baju adeknya, lalu ia mencabi-cabik baju itu persis seperti bekas cabikan harimau. Sambil membawa baju berdarah itu, ia berlari cepat untuk memberitahukan peristiwa itu kepada orang tuanya. Sesampainya di rumah, ia menangis tersedu-sedu sambil memberi tahu bahwa adeknya sudah meninggal. “Adekku sudah mati diterkam dan dicabik-cabik harimau,” katanya sambil menunjukkan baju berlumuran darah itu. Mendengar kabar dan melihat baju berlumuran darah tersebut, orang tua mereka sangat terkejut bagai disambar petir di siang bolong. Ibunya menjerit seketika dan meratapi baju berlumuran darah itu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan kedua orang tuanya selalu dicekam duka lara, yang kadang-kadang dilampias-kan dengan ratapan pilu. Ada cerita mengatakan bahwa mereka pergi ke hutan tempat monyet besar  itu mati dan mengambil tulang-tulangnya (yang menurut si Targasing sebagai sisa tulang-belulang Datu Paksa), lalu mereka membawa-nya ke kampung. Sesuai kebiasaan dahulu, mereka pun mangondasi atau manggondangi sisa tulang-belulang Datu Paksa tiruan tersebut.

Di sisi lain, istri Datu Paksa nampaknya tidak terlalu terpukul atas kejadian itu. Pirasatnya mengatakan bahwa suaminya itu belum meninggal, dan suatu saat nanti dia pasti kembali. “Aku tidak yakin suamiku sudah meninggal diter-kam harimau. Ini semua adalah siasat si Targasing agar dapat memiliki diriku. Jika benar suamiku sudah mati, itu pasti mati dibunuh si Targasing” katanya terus dalam hatinya. Keyakinan ini muncul karena selama ini istri Datu Paksa sudah merasa curiga atas tingkah laku si Targasing terhadap dirinya. Setelah hari berganti hari, bulan berganti bulan, belum juga ada kabar akan kembalinya Datu Paksa, ia pun semakin putus asa. Di sisi lain, si Targasing pun sudah semakin gencar menggoda dirinya. Karena keberadaan posisinya dalam kelu-arga itu lemah, ia merasa tidak mampu lagi menangkal serangan cinta si Tar-gasing, akhirnya ia menyerah pasrah dan jatuh ke dalam pelukan abang iparnya itu. Tidak lama setelah si Targasing berhasil menggagahinya, maka tumbuhlah kehidupan baru dalam rahim adek ipar-nya itu. Setelah tiba bulan dan harinya, lahirlah seorang putra dan selanjutnya dinamaiSibolang.

Suatu ketika, seorang perempuan (katanya bibi Datu Paksa) yang sedang bekerja di ladangnya melihat bayang-bayang seorang pria bersembunyi di balik tunggul kayu (tukko-tukko) yang ada di ladang itu. Keesokan harinya perem-puan itu pergi lagi ke ladangnya, ia mengarahkan pandanganya ke tukko-tukko itu, ternyata ia melihat dengan jelas sosok seorang pria berambut panjang dan bersembunyi lagi di baliktukko-tukko tersebut. Sesampainya di rumah, perem-puan itu menceritakan kepada keluarga dan tetangganya bahwa ia melihat seorang pria berambut panjang bersembunyi-sembunyi di balik sebuahtukko-tukko, namun mereka sepertinya kurang percaya.

Keesokan harinya perempuan itu pergi lagi ke ladangnya, ia tetap melihat sosok pria itu bersembunyi di balik tukko-tukko itu. Dengan rasa waswas, ia memberanikan diri untuk mendekati tukko-tukko itu. Sesampainya di situ ia berupaya menyapa pria itu. “Ai ise do hamu amang na martabuni di balik ni tukko-tukko i?” kata perempuan itu bertanya. “Au do on namboru, si Datu Paksa na marsiak bagi, naeng mate gabe mangolu. Ambalhonma jo saong-saong mi namboru asa hubahen abit hu, ai na marsaemara do ahu” kata pria itu dengan nada sedih. Mendengar perkataan itu, perempuan itu pun melemparkan selendangnya dan meninggalkan pria itu. Ia lari terbirit-birit pulang ke kampung untuk menyampaikan kejadian itu kepada keluarga besar Raja Pangalele. 

Sesampainya di rumah Raja Pangalele, perempuan itu langsung mencerita-kan semua apa yang telah didengar dan dilihat di ladangnya. Ayah dan ibunda Datu Paksa sangat terkejut bercampur ragu mendengar kabar itu, karena mereka menyangka bahwa Datu Paksa suda mati. Namun, mereka tetap memberang-katkan beberapa orang untuk menjemputnya ke ladang itu. Ketika mereka melihat rombongan penjumput itu sudah datang dengan posisi Datu Paksa di bagian depan, ibunda Datu Paksa langsung lari menyongsongnya. Begitu sudah mendekati rombongan, ibundanya berhenti sejenak sambil menatap wajah putranya yang sudah berubah, tapi masih dikenalnya. Dengan menahan rasa haru, ia berlari mendekati dan merangkul putranya erat-erat. Sambil mengusup-usap dan mencium wajah putranya, mereka berdua menangis tersedu-sedu. Ia terus meratapi putranya katanya, “Uee da amang tampuk ni pusu-pusuku, nunga martaon-taon badan dohot tondingku marsitaonon marsapu-sapu ilu, manga-rimangi hinadangol dohot hinalungun, ai nunga mate ho di pardalanan ni ngolungku. Alai saonari, ala basa ni Mulajadi, anakku naung mate i nunga gabe mangolu muse.” Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu turut larut dalam keharuan sampai meneteskan air mata.

Kemudian mereka menuntun Datu Paksa masuk ke rumah Raja Pangalele dan mendudukkannya di atas lage tiar, lalu ibunya mengambil beras si pir ni tondi dan menjatuhkannya di atas kepala Datu Paksa. Setelah Datu Paksa selesai mandi dan makan, ia duduk kembali sambil menceritakan semua kejadian yang dialaminya dan bagaimana caranya dia bisa selamat. Rupanya, ketika dia tertahan di dahan pohon itu, ia tetap duduk bertahan di situ sampai pagi. Ketika hari sudah terang, ia melihat dahan pepohonan lain di bawahnya cukup jauh di bawah, dan tidak ada satu pun jalan untuk turun selain melompot. Bila itu dilakukan, ia pasti akan mati. Ia tidak berani melakukan cara itu, sehingga ia tetap bertahan sambil menunggu mana tahu ada secerca harapan yang dapat membantunya. 

Ketika hari sudah mulai malam, rasa takut dan sedih kembali mencekam dirinya. Dalam suasana kalut tersebut, tiba-tiba ia mendengar suara beruang besar sedang memanjat pohon itu untuk mencari madu, ia langsung berpikir bagaimana cara memanfaatkan beruang tersebut untuk menyelamatkan dirinya. Ia teringat suatu cerita bahwa beruang tidak mau melompat atau menjatuhkan dirinya dari atas pohon besar dan tinggi bila hendak turun pada saat terdesak. Dengan mengingat sifat beruang itu, maka ketika sang beruang tiba di dahan tempat dia berada, dia langsung merangkulnya dari belakang erat-erat. Ketika merasakan rangkulan tersebut sang beruang pun terkejut dan terpaksa turun bersama Datu Paksa sambil menancapkan kuku-kukunya pada batang pohon itu agar tetap bertahan di situ dan meluncur pelan sampai ke bawah. Pada saat sudah tiba di tanah, ia segera melepaskan rangkulannya dan sang beruang itu pun langsung lari ke hutan di kegelapan malam itu. Mungkin sang beruang itu pun sangat ketakutan karena terkejut. Keesokan harinya Datu Paksa bergegas meninggalkan tempat itu menelusuri hutan belantara tanpa mengetahui ke mana arahnya. Berbulan-bulan, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun lamanya, dia mengembara di tengah hutan dan akhirnya tiba di perladangan bibinya itu. Karena Datu Paksa menyembunyikan  dan menampakkan dirinya kembali dari balik tukko-tukko, maka selanjutnya orang sering memanggil dia siTukko. 

Sejak tiba di rumah Raja Pangalele, istri Datu Paksa yang sudah dipersunting abangnya sendiri belum dilihatnya di tempat itu. Itu sudah diduga Datu Paksa sebelumnya bahwa di balik kejadian itu, pasti ada rencana si Targasing terhadap istrinya, sehingga ia tidak langsung mencari istrinya itu. Rupaya istrinya itu tetap bertahan di dalam kamar sambil menangis, menyesali seluruh perbuatan-nya yang sudah terlanjur basah. Dengan menyadari kesalahan itu, ia malu dan tidak berani menampakkan wajahnya kepada Datu Paksa. Namun, ia tetap setia mendengar cerita pilu Datu Paksa dari dalam kamar. Mendengar cerita itu, kesedihannya semakin bertambah dan kerinduannya pun bergejolak kembali bahkan tidak dapat dibendungnya lagi, akhirnya dia bangkit dan berlari mene-mui dan memeluk Datu Paksa sambil menangis. Kemudian ia berlutut di depan kaki Datu Paksa sembari mohon maaf atas semua kesalahan yang sudah terjadi. Rupanya Datu Paksa pun merasakan kesedihan dan kerinduan yang sama, maka dia merangkul istri dan kedua anaknya sambil berkata: “Cinta dan kesetiaanku kepadamu tidak akan pernah pudar sampai akhir hidupku, dan hingga saat ini kau tetap kuanggap sebagai istriku yang sah.”

Sejak kepulangan Datu Paksa, keberadaan Ompu Targasing tidak diketahui dengan jelas, apakah masih tetap tinggal di kampung Raja Pangalele atau sudah pergi. Akan tetapi, jika ia menyadari resiko yang bakal terjadi terhadap dirinya akibat kesalahan yang diperbuatnya dan atas pelanggarannya terhadap norma-norma adat orang Batak, si Targasing pasti akan takut dan meninggalkan kam-pung itu untuk menyelamatkan diri ke kampung orang lain. Juga tidak diketahui dengan jelas apakah kelahiran Ompu Sibolang terjadi sebelum atau sesudah kepulangan Datu Paksa. Yang pasti adalah bahwa semua anak yang lahir dari rahim istrinya, dianggap oleh Datu Paksa sebagai anak kandungnya sendiri. 

Dalam tata pergaulan orang Batak, seorang abang (haha doli) sangat dipan-tangkan (dilarang) bebas berhubungan atau berbicara dengan istri adeknya (anggi boru). Mungkin aturan pantang ini dilatarbelakangi oleh dua hal berikut. Pertama, status sosial seorang adek dalam suatu keluarga berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga perlu dijaga agar haha doli tidak seenaknya mem-perdaya atau menggauli anggi boru-nya dalam posisi lemah itu. Kedua, jika seorang haha doli memperistri (mangabia)anggi boru-nya yang sudah punya anak, hal itu akan mengacaukan panggilan kekerabatan (partuturan). Jadi, jika seoranghaha doli berani melanggar aturan (larangan) itu lalu memperistri anggi boru-nya yang sudah punya anak, berarti dia sudah siap dan rela bahwa anak-anaknya kelak berada dalam posisi si adekan dari anak-anak adeknya yang dilahirkan anggi boru-nya itu.  

Kita tidak tahu pasti hukuman apa yang dijatuhkan terhadap Ompu Tar-gasing akibat pelanggaran yang dilakukannya pada saat itu, apalagi diawali dengan rencana pembunuhan. Akan tetapi, akal sehat kita pasti dapat meyakini dan menerima apabila para tetua (raja natutua) pada saat itu memutuskan bahwa dalam hubungan kekerabatan  (dalam tarombo), keturunan Ompu Targasing dari yang lahir dari anggiboru-nya menjadi si adekan dari anak-anak Datu Paksa yang lahir dari istrinya. Keyakinan ini diperkuat oleh fakta, bahwa sejak dahulu sampai sekarang tarombo Tarihoran pada umumnya menempatkan Ompu Manggiling (Targasing) sebagai adek dari Ompu Datu Paksa (Tukko).

Dari uraian di atas kita tak perlu terlalu mempersalahkan tindakan Ompu Targasing dan tidak perlu malu atau menghindar sebagai keturunan Ompu Targasing akibat kejadian aib itu. Semua itu adalah kejadian alamiah di luar kemampuan manusia. Kasus aib yang lebih parah dari itu banyak terjadi dalam sejarah perjalanan hidup manusia di bumi ini, khususnya di tanah Batak. Mungkin kehendak Sang Pencipta harus melalui cara itulah Ompu Targasing memiliki keturunan yang banyak seperti sekarang ini. Yang perlu bagi kita sekarang adalah mengambil hikmah positif dari peristiwa itu, menghindari perselisihan yang dapat menimbulkan perpecahan hanya karena merebut posisi si abangan atau si adekan. Yang terpenting dari semua itu adalah kesatuan dan kedamaian untuk melangkah bersama menuju kehidupan yang lebih maju dan sejahtera bagi seluruh keturunan Raja Tarihoran. Semoga !!!

b. Penyebaran Keturunan Raja Pangalele


Pada dasarnya daerah Silindung adalah daerah perkampungan marga Pasaribu (keturunan Raja Borbor), sehingga marga Pasaribu-lah yang menjadi pemilik tanah dan raja huta di sana. Namun, marga-marga lain pun bisa tinggal di kampung itu atas ijinraja huta, termasuk marga-marga Si Opat Pisoran. Menurut cerita, pada saat itu, keturunan Si Opat Pisoran, bernama Guru Mangaloksa menikahi Boru Pasaribu dan tetap tinggal di Silindung. Dalam adat Batakboru yang sudah menikah berhak meminta sebagian tanah orang tuanya, tapi harus melalui tata cara adat pula. Atas dasar itu, keluarga Guru Mangaloksa pergi ke rumah mertuanya (hula-hula-nya) Pasaribu sambil membawa makanan (adat) yang pantas untuk itu. Sesampainya di rumah mertunya mereka pun makan bersama, menikmati makanan yang mereka bawa. Namun, setelah selesai makan dan dijelaskan apa maksud dan tujuan kedatangan keluarga Guru Mangaloksa, maka keluarga Pasaribu mengisi tempat makanan yang dibawa keluarga Guru Mangaloksa dengan segumpal tanah sambil berkata: “Inilah tanah yang kau minta itu!” Mungkin begitulah sifat dan perilaku raja huta pada saat itu, kadang-kadang tidak berbelaskasihan, kikir, dan sombong.

Merasa dihina dan dilecehkan, maka timbullah amarah besar dalam hati Guru Mangaloksa. Diam-diam, dia mengumpulkan saudara-saudaranya dan mendirikan beberapa gubuk. Kemudian mereka  menancapkan beberapa tombak di dalam gubuk, dan di sekitar gubuk tersebut disebar ampas sirih dan ampas rokok (puntung-puntung rokok dari dedaunan. Melihat keadaan itu, keluarga besar marga Pasaribu pun merasa curiga dan cemas, jangan-jangan keluarga Guru Mangaloksa akan balas dendam. Karena marga-marga Si Opat Pisoran sudah makin banyak berkumpul, maka suasana di kampung Silindung itu pun sudah semakin tegang. Merasa tidak bisa mengalahkan pasukan Guru Manga-loksa, maka pada malam harinya, keluarga besar marga Pasaribu melarikan diri dari Silindung dan pergi ke arah Sirabaraba. Karena pada saat melarikan diri itu terjadi di malam hari yang gelap, mereka menginjaki pelepah daun-daun poring (sejenis talas) sampai patah, sehingga menimbukan suara: pok, pok, pok! Karena peristiwa peperangan itu disertai suara pelepah daun-daun poring berpatahan, maka selanjutnya peristiwa peperangan itu disebut poring.  


Pada masa pergolakan itu, anak Datu Paksa dan Ompu Manggiling sudah berkeluarga dan tetap tinggal di daerah Silindung bersama kerabatnya Pasaribu. Karena marga Tarihoran termasuk keturunan Raja Borbor, maka Datu Manong-ging pun ikut melarikan diri pada malam itu bersama keluarganya. Sedangkan Datu Gumasing masih tetap tinggal di Silindung (di Lobu Marsait Bosi) karena istrinya sedang hamil tua. Melihat konsentrasi penyebaran keturunan Datu Paksa di daerah-daerah, maka diduga kuat bahwa Datu Manongging melarikan diri ke arah Barus-Sorkam, tepatnya di Sirabaraba. 

Dari Sirabaraba anak pertama Datu Manongging atau keturunannya, yaitu Raja Soaloon berpindah dan menyebar ke daerah Pasaribu Dolok, yaitu di seki-tar Kolang, Sorkam, dan Sosorgadong (Muara Bolak, Aek Sihim, Aek Rogas, dan Sibintang Pasir). Ada juga keturunan Raja Soaloon yaitu Ompu Nialatulang (Pargondang Bodil) kembali lagi ke daerah Silindung. Sekarang keturunannya tersebar di huta Lobu Hole, Sitompul, Marsait Bosi, Simorangkir dan ada juga di sekitar Tarutung sekarang. 

Sedangkan anak kedua Datu Manongging, Tuan Laen Sabungan memiliki dua orang anak yaitu Datu Rading dan Guru Sojuangon. Datu Rading mungkin masih tetap tinggal di Sirabaraba. Baru kemudian anaknya Ompu Lolap pergi ke Parmoncahan. Dari Parmoncahan, anak Ompu Lolap, yaitu Guru Mangalasori pergi ke Silamue. Kemudian anak Guru Mangalasori, yaitu Ompu Tuan Dila-tong turun ke daerah Latong Dolok. Kemudian pada generasi tertentu ketu-runann menyebar dari Lotong Dolok ke daerah Sibintang, Huta Lobu, Unte-boang, Aek Tawar, Lobu Matutung, Sitombaga, Bukit Dalam, Sijungkang, Sihorbo, dan ke daerah lainnya. Sedangkan Guru Sojuangon turun ke daerah Huta Gugung, kemudian keturunannya menyebar ke daerah Sipodang, Sibin-tang, Pananggahan, Purbatua, Peadundung, Sitiris-tiris, Sihorbo, Sogar, dan ke daerah lainnya.

Setelah istrinya melahirkan, maka Datu Gumasang bersama istri dan anak-nya, Maotaot (Op. Manunggal), meninggalkan Lobu Marsait Bosi Silindung. Pertama-tama mereka pergi ke Muara Hatoman Sisugasuga (Pintu Harbangan) di daerah Sorkam. Di sana mereka mencari abangnya Datu Manongging. Setelah mereka mengetahui bahwa Datu Manongging dan keturunannya ada di Latong Dolok dan Sirabaraba, maka mereka naik ke Latong Dolok dan Sira-baraba.  Kemudian dari Sirabaraba anak Ompu Manunggal, yaitu Raja Mardu-dum pergi ke Peadundung dan tinggal di sana sampai beberapa generasi. Kemu-dian, dari Peadundung sebagian keturunannya menyebar ke Sitinjak (Op. Jarun-jung), Sibambanon/Pakkat (Op. Pangulusaba), dan ke Barus (Op. Toga Roti).

Tidak ada informasi yang jelas, apakah Ompu Sibolang dan anak-anaknya ikut melarikan diri dari Silindung pada saat pergolakan itu. Tetapi melihat penyebaran keturunannya, mungkin ia tetap tinggal di daerah Silindung. Selain di Silindung, Selanjutnya sebagian keturunannya tinggal di daerah Tarutung, Aeknasia, dan sebagian lagi menyebar ke daerah Tapanuli Tengah bagian utara dan selatan, seperti Pinangsori, Sihaporas, Gunung Marijo, Adian Hoting, Mela Dolok, Sibolga, Tukka, dan ada juga yang menyebar ke Tapanuli Selatan. 

Pada jaman sekarang ini, keturunan Raja Pangalele telah mencapai jumlah yang cukup besar. Sebagian besar dari mereka masih berdomisili di bonapaso-gitnya masing-masing, dan sebagian lagi sudah menyebar dan tinggal hampir di seluruh penjuru tanah air Indonesia.

c. Peninggalan Tanah Kerajaan Keturunan Raja Pangalele

Bangsa Batak termasuk bangsa yang khas dan unik, kekhasan dan keunikannya terletak pada semangat dan keinginan dalam hidupnya. Orang Batak sifatnya keras, pantang menyerah, dan selalu ingin menjadi penguasa (raja) yang dihor-mati dan disegani. Ini dapat kita lihat dari nama-nama orang Batak, yang banyak bergelar Raja.  Termotivasi ingin menjadi raja, maka orang-orang Batak dahulu selalu berjuang keras untuk membuka daerah perkampungan (parhutaan) seluas-luasnya dan dijadikan sebagai daerah kekuasaannya. Orang yang pertama kali membuka suatu daerah parhutaan, dialah yang menjadi raja penguasa di sana. Sedangkan orang yang datang kemudian menjadi warganya (par ripena).  Biasanya orang yang datang ke kampung itu diberi lahan oleh raja untuk dikelola menjadi sumber hidup keluarganya. 

Kita tidak tahu pasti, apakah Raja Pangalele sempat membuka daerah parhu-taansendiri di daerah Silindung dahulu atau dia hanya sebagai pendatang baru yang diberi raja penguasa di daerah itu sebidang tanah menjadi parhutaan atau perladangannya. Mungkin ada benarnya bahwa Raja Pangalele di daerah Silin-dung membuka daerah perkampungannya sendiri yang menjadi daerah kekuasa-annya. Kemungkinan ini dapat kita lihat dengan adanya bekas perkampungan tua tak bertuan di bagian perbukitan Simorangkir, dimana di sana terdapat mata mualTarihoran yang masih dikenal orang sampai saat ini. Tetapi, akibat adanya pergolakan untuk memperebutkan daerah kekuasaan pada masa itu, mungkin Raja Pangalele atau anak-anaknya meninggalkan perkampungan itu dan pergi ke daerah Sorkam, Barus dan Tapanuli Tengah bagian selatan.

Setibanya di Sirabaraba, Datu Manongging dan Datu Gumasang mungkin hanya tinggal sementara di sana dan tidak membuka daerah kerajaan, sebab daerah itu sudah menjadi daerah kerajaan Pasaribu. Dari Sirabaraba, keturunan Datu Manongging dan Datu Gumasang menyebar ke daerah lain untuk mem-buka parhutaan sekaligus menjadi daerah kekuasaan kerajaannya.

Keturunan Raja Soaloon, turun ke daerah Kolang, Sorkam, dan Pasaribu Do-lok. Ternyata di daerah-daerah tersebut, marga-marga lain sudah terlebih dahulu membuka daerah perkampungan mereka (menjadi si pungka huta), sehingga para keturunan Raja Soaloon hanya sebagai pendatang baru di sana. Hanya satu perkampungan yang untuk pertama kalinya dibuka marga Tarihoran keturunan Raja Soaloon, dan tetap menjadi raja huta di sana sampai sekarang, yaitu Huta Aek Rogas di Sipodang Sosorgadong sekarang.

Datu Rading (anak pertama Tuan Laen Sabungan) atau keturunannya, turun ke daerah pengunungan dekat Simataniari, yang disebut Latong Dolok, mereka membuka daerah parhutaan pertama di sana dalam waktu yang cukup lama. Di Latong Dolok mereka membentuk kerajaan Tarihoran. Dari Latomg Dolok sebagian keturunan Ompu Pondang (yaitu Ompu Raja Ingat) sudah terlebih dahulu turun ke daerah pesisir Sosorgadong sekarang. Keturunan Ompu Jaring membukaparhutaan di Lobu Matutung dan keturunannya menjadi raja huta di sana dan tanah kerajaan (pusaka) Tarihoran masih ada sampai sekarang. 

Sekitar tahun 1800-an, Anak Ompu Mardolon, yaitu Ompu Raja Tingkiron membuka parhutaan di Lobu (di perbukitan desa Sibintang). Bersama tiga orang anaknya (Ompu: Raja Dapoton, Raja Niangon, dan Manariur), Ompu Raja Tingkiron berladang dan beternak kerbau di Lobu. Mereka membuka lahan sebagai tempat pengembalaan kerbau mereka yaitu tanah Gorbus. Dan meng-gali tanah di Lobu sebagai kandang kerbau mereka yang disebut bara tano. Tanah Lobu dan Gorbus menjadi tanah kerajaan (pusaka) Tarihoran keturunan Ompu Raja Tingkiron sampai sekarang.  Dan keturunannya tetap menjadiraja huta di Huta Lobu sampai sekarang.

Ompu Morbi atau keturunannya (Ompu Tuan Solam) membuka daerah parhutaan di Haminjon Bidang di atas Unteboang, tanah kerajaan (pusaka) Tarihoran masih ada di sana sampai sekarang. Selanjutnya, mereka (keturunan Ompu Tuan Solam) turun dari Haminjon Bidang dan membuka daerah per-kampungan di Unteboang, dan marga Tarihoran tetap menjadi raja huta di sana sampai sekarang.

Marga Tarihoran yang masih tinggal di Latong Dolok tetap menjaga huta harajaonTarihoran di sana. Pada jaman penjajahan Belanda, kerajaan Tari-horan di Latong Dolok turut serta memberikan perlawanan terhadap si penjajah, ini dapat kita lihat dengan jelas dari peninggalan alat-alat perang mereka, yaitu sebuah meriam besar yang masih ada di Latong Dolok sampai sekarang. Di samping itu, peninggalan tanah kerajaan (pusaka) Tarihoran di Latong Dolok masih ada sampai sekarang. Raja huta yang paling terkenal di sana adalah Ompu Barita Ginjang. Ketika Belanda memerintahkan penduduk yang berdiam di daerah pegunungan agar turun ke daerah pesisir, maka sekitar tahun 1907 mereka turun ke daerah Sibintang Dalam. Di sana mereka membuka parhutaan dengan memberi nama seperti nama parhutaan mereka di Latong Dolok, yaitu Huta Pahae Tongatonga dan Huta Parik. Sampai sekarang marga Tarihoran te-tap menjadi raja huta di sana. Pada saat yang sama, keturunan Ompu Montang-laut turun ke daerah Aek Tawar membuka parhutaan, dan sampai sekarang marga Tarihoran tetap menjadi raja huta di sana.

Guru Sojuangon (anak yang kedua) dari Tuan Laen Sabungan pergi ke dae-rah Huta Gugung dan membuka parhutaan dan kerajaan Tarihoran di sana. Guru Sojuangon atau keturunannya, tinggal cukup lama di Huta Gugung dan peninggalan tanah kerajaannya masih ada di sana sampai sekarang.  Atas perin-tah Belanda, dari Huta Gugung sebagian besar keturunan Guru Sojuangon turun ke daerah pesisir antara lain ke Sibintang Pasir dan Sipodang. Di Sibintang Pasir mereka membukaparhutaan yang diberi nama Huta Gugung seperti nama parhutaan yang mereka tinggalkan (yang disebut Huta Gugung Dolok). Yang pindah ke daerah Sipodang juga membuka parhutaan di sana. Sampai sekarang, marga Tarihoran keturunan Guru Sojuangon tetap menjadi raja huta di kedua tempat (lorong) tersebut. Sebagian lagi ada yang pindah ke daerah Purbatua, tepatnya di Batu Landit, di sana mereka sebagai pendatang baru sehingga marga Tarihoran bukan menjadi raja huta di sana.

Keturunan Datu Gumasang, yaitu Raja Mardudum pergi ke daerah Peadun-dung dan membuka  parhutaan dan  kerajaan di sana  (mungkin  bersama marga Pasaribu). Mereka tinggal di sana sampai beberapa generasi.  Peninggalan Tanah kerajaaan (pusaka) Tarihoran di sana masih ada sampai sekarang. Kemudian, dari Peadundung sebagian keturunan Ompu Mardudum pergi ke Sitinjak (Op. Jarunjung), Sibambanon/Pakkat (Op. Pangulusaba), dan ke Barus (Op. Toga Roti) di sekitar Bukit Hasang dan Pananggahan. Mungkin di tempat-tempat tersebut mereka sebagai pendatang baru (bukan si pungka huta) sehingga marga Tarihoran tidak menjadiraja huta di sana sampai sekarang.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa keturunan Ompu Sibolang kebanya-kan menyebar ke bagian selatan Silindung dan ada juga yang tetap tinggal di sekitar Silindung dan Tarutung. Karena daerah yang didatangi oleh mereka (keturunan Ompu Sibolang), pada umumnya sudah merupakan daerah par-hutaan marga-marga lain, maka kehadiran mereka di sana adalah sebagai pen-datang baru. Namun, di daerah Pinangsori (Sihaporas) dan di Gunung Marijo keturunan Ompu Sibolang ada yang membuka parhutaanbaru dan peninggalan tanah kerajaan Tarihoran di sana masih ada sampai sekarang.

D. Kisah Raja Naduma dan Keturunannya

Raja Naduma adalah anak ketiga (anak siampudan) dari Raja Tarihoran. Seba-gai anak siampudan yang lahir pada saat hasil ladang dan ternak mereka berhasil ataumaduma (gabe na niula sinur na pinahan), maka tentu saja Raja Naduma menjadi anak kesayangan Raja Tarihoran. Setelah Raja Naduma dibe-sarkan dengan penuh kasih sayang sampai dewasa oleh orang tuanya dan siap untuk menikah, ia pun menikah dengan Ompu Boru Sitompul. Kita tidak tahu dari mana asal Ompu Boru Sitompul ini, apakah Raja Naduma meminangpariban-nya dari Lumban Masopang atau dari daerah lainnya.

Dari hasil perkawinannya dengan Ompu Boru Sitompul, Raja Naduma memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raja Sumurung. Latar belakang pemberian nama ini tidak diketahui dengan pasti, tapi dapat diduga bahwa ini dilatarbelakangi oleh keistimewaan yang dimiliki oleh Raja Sumu-rung tersebut. Sampai enam generasi, keturunan Raja Naduma selalu mempe-roleh seorang anak laki-laki (dan mungkin saja ada beberapa orang perempuan). Setelah generasi keenam, yaitu Raja Tarhutik baru memiliki dua orang putra yang diberi nama  Raja Silindungan (Ompu Sigaol) dan Raja Bombong.

Tidak banyak diketahui informasi tentang bagaimana kisah perjalanan hidup Raja Naduma. Kita tidak tahu pasti, apakah Raja Naduma sendiri yang pindah ke Parsoburan dari Porsea dan membuka parhutaan-nya di sana atau keturunan-nya yang pindah ke sana. Namun, sesuai dengan kebiasaan orang Batak bahwa anak siampudan (anak bungsu), pada umumnya selalu tinggal lebih lama ber-sama orang tua dan menjadi pemilik rumah orang tuanya. Atas dasar itu, diduga kuat bahwa Raja Naduma tinggal lebih lama di perkampungan Raja Tarihoran di daerah Porsea, baru setelah beberapa generasi berikutnya, keturunannya berpindah ke daerah Parsoburan.

Dugaan ini diperkuat oleh informasi sejarah bahwa keturunan Raja Naduma datang ke Parsoburan sekitar tahun 1907 di Huta Sigaol, mungkin saja yang datang itu adalah Ompu Sigaol dan Raja Bongbong. Karena suatu hal, Raja Bombong atau anaknya (Datu Gumuru) tidak lama tinggal di Huta Sigaol, dan ia segera pindah ke Huta Janji. Sedangkan Ompu Sigaol atau anaknya, Ompu Bolas (Ompu Raso) masih tetap tinggal lebih lama di Huta Sigaol.

Pada waktu itu yang menjadi raja huta di Huta Sigaol adalah Raja Bum-bunga Nabolon. Pada masa kekuasaan Raja Bumbunga, di Huta Sigaol ada larangan memelihara ternak. Oleh karena Ompu Jogar (mungkin anak Ompu Raso) adalah seorang pemelihara ternak, maka dengan terpaksa ia pindah ke Huta Sigalagala. Sesampainya di Huta Sigalagala, Ompu Jogar Tarihoran mengubah marganya menjadi marga Sagala, karena pada saat itu yang menjadi raja huta di tempat itu adalah marga Sagala. Karena sudah menjadi marga Sagala, maka dalam hal paradaton Ompu Jogar bergabung dengan kegiatan paradatonmarga Sagala.

Pada tahun 1968, seluruh keturunan marga Sagala yang ada di tempat terse-but mendirikan tugu marga Sagala, namun keturunan Ompu Jogar tidak diikut-sertakan dalam pendirian tugu tersebut, karena sebagian marga Sagala telah mengetahui bahwa Ompu Jogar bukan marga Sagala, melainkan marga Tariho-ran. Sejak saat itu, seluruh keturunan Ompu Jogar kembali lagi menjadi marga Tarihoran. Perubahan marga Sagala (yang dulunya marga Tarihoran) kembali menjadi marga Tarihoran lagi, dikukuhkan oleh Bupati Tapanuli Utara sekitar tahun 70-an yang pada saat itu bermarga Sagala.

Karena pada saat kedatangan Datu Gumuru ke Huta Janji dan Ompu Jogar ke Huta Sigalagala, kedua tempat tersebut sudah menjadi parhutaan marga lain, maka dapat dipastikan bahwa marga Tarihoran bukan sebagai raja huta di sana. Oleh karena itu, tanah kerajaan (pusaka) Tarihoran di kedua tempat tersebut dipastikan tidak ada.

Seiring dengan bergulirnya waktu, keturunan Raja Naduma pun semakin bertambah-tambah di daerah Parsoburan, khususnya di Huta Janji dan Huta Sigalagala, maka sebagian dari mereka menyebar ke arah timur Parsoburan, yaitu ke daerah Rantau Prapat. Mungkin di sana mereka membuka perkam-pungan baru, bernama Huta Siringanringan.  Ini diperkuat oleh fakta bahwa marga Tarihoran di Rantau Prapat kebanyakan tinggal di Huta Siringanringan. Kedatangan marga Tarihoran di Rantau Prapat mungkin berkaitan juga dengan nama sebuah sungai bernama sungai Tarihoran. Sampai saat ini, sungai tersebut masih tetap dinamai Sungai Tarihoran.

Kritik dan saran atau jika Anda  ada mengetahui sejarah yang berkaitan dengan perjalanan hidup Raja Tarihoran dan atau keturunannya, silahkan ditulis dan dikirim ke andiga@wp-tarihoran2.test